Saturday, March 7, 2015

Seni Merawat Jiwa

Pekerja seni dikenal seringkali seret mendapatkan rupiah, makanya orang tua-orang tua kebanyakan menolak anaknya masuk pendidikan tinggi senirupa,seni tekstil,seni musik, sastra, atau bentuk kesenian lainnya.

Memanglah kita punya jarak lebih jauh dalam menentukan ekonomi negara dan perusahaan dan perorangan. Kita tak serta merta punya arti dalam perputaran barang, dari yang primer seperti sayuran dan bahan pokok, hingga tersier seperti jual beli komputer atau mobil.

Tapi berkesenian merawat jiwa, bukan? Dan bukankah itu adalah modal negara agar rakyatnya sehat, bahagia, sehingga kreatif menciptakan inobasi-inovasi demi kemajuan bangsa. Jiwa yang berbahagia, punya aura bersih, erat dengan kejujuran dan ketulusan.

Tengoklah artikel KOMPAS sabtu (07/03/2015), "Menyanyikan Kegembiraan dengan Sederhana". Bercerita tentang duet Ukulele-vokal Meicy dan Arum yang menamakan dirinya Tetangga Pak Gesang. Suatu kali mereka datang ke RS Hasan Sadikin, dan bernyanyi di ruang rawat kanker anak.

Saya sungguh terharu membaca kalimat terakhir. Bukankah kegembiraan bernyanyi yang bisa meluluhkan bekunya hati seorang gadis kecil? Dan bukankah itu sesuatu yang sangat berharga, mendapatkan kembali semangat seorang anak, yang walaupun hasilnya baru bisa dipanen nanti-nanti, tapi mungkin lebih berarti dari nilai saham yang setiap hari berubah, urusan cabe dan sayuran yang kian hari kian mahal saja, dan urusan-urusan perut lainnya.

Kadang kita dibutakan oleh urusan perut tersebut, bukan? Padahal urusan kita ada yang jangka panjang, ada yang jangka pendek. Isi perut jangka pendek. Merawat hati dan jiwa urusan jangka panjang, yang, nantinya akan berpengaruh lagi pada urusan perut. 

Bisakah kita bersinergi? Andaikan pemerintah dan pemilik kapital mau sedikit berjibaku bekerja sama dengan seniman-seniman kelas teri dan menggunakan kekayaan budaya maupun alam lokal dalam setiap urusan promosi, pengadaan barang, perencanaan program,dan lain sebagainya.  Mungkin pekerja seni di Indonesia bisa sedikit melonggarkan ikat pinggang, dan orang tua-orang tua tak lagi melarang anaknya masuk sekolah seni.